PENGASINGAN
Oleh : Muhammad Azidan.
Pagi itu seperti pada biasanya, jauh dari kerumunan orang banyak dan di kala fajar persis sebelum sang surya bangkit dari balik cahaya fajar, aku duduk terpaku manatap keindahan alam, meminta semua yang kusaksikan menjelaskan realitas keindahan. Meminta kepada angin sepoi sepoi yang sejuk dan menyegarkan untuk menjelaskan alasan ia pergi menuju kota, di kendalikan oleh kehangatan matahari, ke kota tempat kuman kuman penyakit akan melekat pada keliman pakaiannya dan napas beracun manusia akan menyerangnya.
Lalu aku mulai beralih melihat ke bunga bunga nan indah, dan melihat mereka nampak sedih, lalu ku lontarkan pertanyaan " Wahai bunga yang indah, mengapa kalian nampak bersedih" salah satu dari mereka menjawab " Kami meratap karena manusia akan tiba, memetik leher kami, membawa kami jauh ke kota, dan menjual kami layaknya tawanan budak.
Perlahan mataku mulai melirik sungai yang mengalir mengikuti setiap bentuk batu batu yang menghempit, tanpa harus mengubah bentuk dan juga tempatnya. Sontak ku lontarkan pertanyaan "wahai sungai yang damai, engkau mengalir mengikuti setiap lekukan batu tanpa membongkarnya, kau nampak mengalah, tapi jalan yang sedang kau lalui, menuju kota, tempat manusia akan mengotorimu dengan sampah, limbah pabrik, kau akan tercemar" seakan mereka tak perlu menjelaskan realitas dari keindahan, dari bunga aku mulai belajar mengapa mereka nampak bersedih.
Tak jauh dari tempatku duduk, terdapat gubuk yang menjadi tempat tinggal seorang gadis, Astri, ya astri namanya, gadis yang tak pernah berbicara, nampaknya ia bisu , namun ini bukan pertama kali aku ingin menemuinya, ia bisa berbicara tapi lebih memilih diam seribu bahasa, mungkin ada sesuatu yang di sembunyikan. 3 tahun terakhir menjadi durasi untuk mengasingkan diri dari kota, aku dan mungkin juga gadis tersebut, memiliki cara pikir yang sama, tapi belum ku tau pasti alasan mengapa ia juga mengasingkan diri jauh dari kota.
Penduduk kota banyak yang berselisih mengenai siapa aku dan juga si gadis itu (Astri). Sebagian mengatakan bahwa kami berasal dari keluarga yang terpandang, memiliki banyak harta, tapi tak mendapat restu dari keluarga, lalu pergi menjauh dari rumah, mencari ketenangan dalam sunyi. Yang lain mengatakan bahwa kami adalah orang yang mulai taat terhadap agama dan mulai meninggalkan kota, tak mempedulikan urusan dunia dan ingin mendekatkan diri kepada Sang khalik. Bahkan yang lain dengan enteng mengatakan " Mereka Gila ".
Mereka tak tahu bahwa diriku juga belum mengenal astri, bahkan berharap dengan sendirinya bahwa kelak mereka akan sadar alasan mengapa aku menjauh dari kota, entah apa yang mereka pikirkan tentang astri.
Tiga tahun terakhir aku jauh dari kerumunan kota, hanya mempunyai satu tetangga yang dengan tingkahnya membuat seolah olah hanya diriku sendiri. Bukan pertama kali aku mencoba untuk mendekati dirinya dan memintanya menjelaskan di balik diamnya. Dan kali ini ingin ku coba, aku kembali ke gubukku sembari mempersiapkan diri untuk menemuinya. Sore mulai menjelang malam, langit nampak mendung pertanda akan turunnya hujan, dan aku berada di antara kebimbangan, ingin kutemui sudah pasti tapi harus di sertai alasan, Ingin menanyakan di balik diamnya mungkin bukan alasan yang tepat untuk bertemu. Hujan mulai turun di sertai dengan angin yang kuat seolah memberi tanda kemarahan pada manusia, sontak muncul dalam pikiranku "Mengapa tak ku jadikan alasan?" Yaah dengan hujan dan angin bisa ku jadikan alasan untuk bertemu dengannya. Aku mulai berjalan, menyusuri hutan yang gelap, melawan kuatnya angin, dan derasnya hujan. Beberapa langkah lagi sudah ku temui gubuk astri, langsung saja tanpa banyak bicara, aku membuka pintu gubuknya, dia pun kaget melihat diriku, dan meminta untuk menjelaskan mengapa aku datang, " Hujan yang deras di sertai Angin yang kencang akan segera malahap diriku di dalam kegelapan, tidakkah kau bersedia untuk memberi tumpangan padaku?", ia hanya memandangku, seolah paham apa yang ku maksud, " Silahkan duduk, dan akan ku suguhi secangkir kopi" ia pun berkata.
Setelah duduk, tak beberapa lama, ia datang, membawa secangkir kopi, sudah mampu ku gambarkan bahwa di balik diamnya ternyata dia sosok yang ramah, dia pun kembali duduk setelah memberiku kopi. Seperti biasanya ia kembali diam, " Astri, beberapa kali ku temui, kau nampaknya hanya diam" mendengar pernyataanku dia mulai merespon " Aku diam sebab di kota sana banyak yang lantang tapi di katai subversif, aku diam sebab berbicara adalah sesuatu yang biasa namun praktek adalah hal yang jarang di temui, Hidup mereka seperti rawa rawa busuk, mengadahkan kepalanya di atas puncak gunung, namun jiwa mereka tetap tidur dalam kegelapan gua gua." Aku pun mulai bertanya " Sudah lamakah kau tinggal di gubuk ini?" Dia menjawab " Aku datang kemari ketika bumi tanpa bentuk dan, jiwa Tuhan bergerak di atas permukaan air". Betapa anehnya orang ini, dan betapa sulit mengenalinya apa adanya. Lalu dia pun berdiri, ia memintaku untuk segera pergi, karena cuaca suda membaik. " Kau pergilah, Alam tak lagi murka, hujan dan angin sudah berlalu" dengan nada yang agak keras dan lantang, aku pun tanpa berkata, pergi meninggalkan gubuknya, manyusuri gelapnya hutan, menuju ke gubukku. Setidaknya sudah ku dapati sedikit penjelasan kenapa ia diam, rupanya ia muak dengan kehidupan kota yang tumbuh begitu cepatnya, dan merusak yang lainnya.
Komentar
Posting Komentar